KEBATILAN JAMINAN SOSIAL SISTEM KAPITALISME

Pengantar

Selain amanat UUD 1945, argumentasi yang kerap disampaikan oleh pengusung UU Sistem Jaminan Sosial nasional (SJSN)  adalah realitas masyarakat di Indonesia yang baru separuh (50,4%) yang mendapatkan jaminan sosial. Mereka adalah PNS, keluarga dan pensiunannya, TNI/Polri keluarga dan pensiunannya serta pegawai swasta yang perusahaannya terdaftar pada Jamsostek dan individu yang menjadi peserta asuransi komersial. Sisanya—yang kebanyakan orang yang tidak mampu—sama sekali tidak mendapatkan perlindungan sosial sehingga mengerogoti kualitas kesejahteraan mereka.

 Jaminan sosial sendiri dalam UU SJSN No. 40 2004  mencakup jaminan kesehatan,  jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua,  jaminan pensiun,  dan jaminan kematian. Oleh karena itu digagaslah UU SJSN pada tahun 2002 yang kemudian disahkan pada tahun 2004. Namun demikian hingga saat ini UU yang disponsori oleh ADB tersebut belum dapat dilaksanakan akibat badan yang menjadi pelaksana jaminan sosial tersebut (BPJS) belum terbentuk.

Tabel. Pelaksana dan Peserta Asuransi Jaminan Sosial di Indonesia

No Persero Program Peserta
1 Jamsostek Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Kematian Pengusaha dan tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja
2 TASPEN Jaminan Pensiun, Jaminan Hari Tua, Jaminan Kematian PNS, Janda dan duda PNS, Pejabat Negara
3 ASABRI Jaminan Pensiun, Jaminan Hari Tua, Jaminan Kematian TNI, POLRI, Janda dan Duda TNI  dan POLRI
4 ASKES Jaminan Kesehatan PNS, Pensiunan PNS, TNI, POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya

Sumber: Kemenkokesra (2008)

Pemerintah sebenarnya telah melancarkan program Jamkesmas dimana dimana rakyat yang dikategorikan miskin berhak mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis dengan dana yang bersumber dari alokasi APBN dan APBD. Meski demikian cakupannya masih sangat terbatas mengingat dana yang dialokasikan untuk pelaksanaan program tersebut pada tahun 2011 misalnya hanya Rp5,6 triliun.  Akibatnya di banyak tempat peserta Jamkesmas sekalipun masih harus mengeluarkan biaya pengobatan. Selain itu, kepesertaan dari program tersebut hanya bagi penduduk yang terkategori miskin yang datanya sangat tidak akurat. Konsekuensinya, mereka yang tidak masuk kategori miskin atau miskin namun tidak tercatat sebagai penerima jamkesmas tidak berhak untuk mendapatkan layanan tersebut.

Namun demikian bagi pengusung SJSN, eksistensi Jamkesmas dalam jangka panjang akan sangat membebani APBN bahkan beresiko membangkrutkan negara karena biayanya sepenuhnya ditanggung oleh negara.  Berbeda dengan program SJSN dimana yang mampu dapat mensubsidi yang tidak mampu.

Jaminan Sosial Kapitalisme

Sistem jaminan sosial dalam sistem kapitalisme merupakan ide yang dicangkokkan ke dalam sistem tersebut setelah dalam perkembangannya gagal menciptakan kesejehteraan secara merata kepada rakyat. Sebagaimana diketahui landasan utama sistem ekonomi kapitalisme adalah peningkatan pendapatan perkapita melalui pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan dianggap sebagai jalan menuju kesejahateraan. Oleh karena itu, fokus utama dari sistem ekonomi negara ini adalah bagaimana menciptakan pertumbuhan ekonomi setinggi mungkin. Asumsinya, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi yang dapat diraih oleh suatu negara, semakin tinggi kesejahteraan yang dapat diciptakan.

Dengan prinsip kebebasan berusaha dan memiliki, sistem tersebut mendorong agar pendapatan perkapita rakyat secara agregat mengalami peningkatan tanpa melihat apakah masing-masing individu rakyatnya mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Di sisi lain, peran dan tanggung jawab negara dalam bidang ekonomi, termasuk dalam pelayanan publik sedapat mungkin diminimalkan. Oleh karena itu regulasi yang mengarah pada minimalisasi peran negara serta optimalisasi peran swasta seperti privatisasi dan liberalisasi senantiasa menjadi agenda politik utama pemerintah yang menngadopsi sistem kapitalisme.

Konsekuensi dari model sistem tersebut aspek distribusi kesejahteraan tidak dirasakan secara merata. Kekayaan yang dihasilkan dari pertumbuhan tersebut hanya dinikmati oleh mereka yang dapat terlibat dalam kegiatan ekonomi terutama oleh para pemodal. Sementara para pekerja dengan pendapatan minimun termasuk orang-orang yang tidak dapat berproduksi seperti orang orang cacat dan orang jompo, para pengangguran dan gelandangan tidak dapat menikmati kekayaan tersebut. Celah tersebut kemudian menjadi sasaran kritik dari ideologi sosialisme-komunisme.  Ideologi tersebut kemudian menawarkan konsep ‘sama rata sama rasa’ yang menjanjikan distribusi yang adil dalam sistem ekonomi. Propaganda tersebut dalam sejarahnya mampu memperluas pengaruhnya di tengah-tengah masyarakat Eropa khususnya di kalangan pekerja yang mengalami eksploitasi oleh para pemodal. Meski pada kenyataannya komunisme pun gagal mewujudkan janjinya.

Para pemikir dan politisi negara-negara Kapitalisme kemudian berupaya menambal kelemahan tersebut dengan menciptakan program jaminan sosial (social security) untuk para pekerja. Salah satu penggagas program tersebut adalah kanselir Jerman, Otto Von Bismarck (1815 –1898). Pada tahun 188o-an  ketika krisis Eropa dan AS  mengalami krisis berkepanjangan (1873-1896) ia meluncurkan UU asuransi kecelakaan, asuransi kesehatan, dan asuransi hari tua dan pengangguran untuk melindungi para pekerja. Dalam pernyataannya:

“Keluhan dari pekerja adalah rasa tidak aman pada dirinya. Ia tidak yakin bahwa ia akan selalu memiliki pekerjaan, ia tidak yakin bahwa ia akan selalu sehat, dan ia meramalkan bahwa ia suatu hari akan tua dan tidak layak untuk bekerja. Jika ia jatuh ke dalam kemiskinan, bahkan sakit berkepanjangan, ia kemudian benar-benar tak berdaya, dibiarkan sendiri dan masyarakat saat ini tidak mengakui ada kewajiban nyata terhadap dirinya diluar yang biasa mereka lakukan untuk membantu orang miskin, meskipundulunya  ia telah bekerja sepanjang waktu dengan setia dan rajin. …” [1]

Demikian pula program New Deal (1933-1936) yang diterapkan oleh Franklin D. Roosevelt pasca krisis great depresion di AS juga mencakup pemberian jaminan sosial kepada kelompok tertentu dari masyarakat khususnya para pekerja. Dalam perkembangannya menurut catatan International Labour Organisation (2011) seluruh negara di dunia ini telah memberlakukan jaminan sosial bagi rakyatnya. Yang berbeda adalah jenis, cakupan, dan intensitas jaminan sosial tersebut. Amerika Serikat, Kanada dan negara-negara Eropa Barat merupakan negara-negara yang memiliki tingkat jaminan sosial yang paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara di kawasan lain.[2]

Persepektif Islam

Berbeda dengan sistem Kapitalisme yang menjadikan pertumbuhan untuk meningkatkan pendapatan perkapita sebagai landasan kebijakannya, sistem ekonomi Islam bertumpu pada asas distribusi. Oleh karena itu, politik ekonomi dalam Islam secara tegas dinyatakan adalah menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok setiap warga negara secara menyeluruh dan memberikan peluang kepada mereka untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kemampuan mereka dalam bingkai masyarakat yang memiliki satu pandangan hidup tertentu.

Oleh karena itu Islam telah menjelaskan batasan kebutuhan pokok tersebut dan pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam memeuhuni kebutuhan tersebut.  Kebutuhan pokok berupa pangan, sandang dan papan yang wajib dipenuhi oleh rakyat yang ditopang oleh negara. Sementara pendidikan, kesehatan dan jaminan keamanan sepenuhnya merupakan tanggungjawab negara meski individu diperkenankan untuk terlibat di dalamnya.

Mekanisme pemenuhan kebutuhan dasar berupa pangan, sandang dan papan melalui keterlibatan: individu, keluarga (ahli waris) dan intervensi negara. Dari sisi individu maka Islam telah memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk bekerja dan memiliki barang-barang sesuai dengan kaedah yang telah digariskan. Namun bagi seorang laki-laki yang mampu bekerja dan kebutuhan dasarnya tidak mencukupi maka ia wajib bekerja. Sementara bagi mereka yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya karena tidak dapat bekerja atau tidak wajib bekerja seperti wanita, anak-anak dan orang tua maka Islam telah menentukan pihak yang wajib menanggung nafkah mereka. Suami wajib menanggung wajib menanggung nafkah istri dan anak-anaknya. Sementara orang tua wajib ditanggung nafkahnya oleh anak laku-laki mereka yang baligh dan mampu bekerja. Dari Aisyah Rasulullah saw bersabda: ”Makanan yang paling baik bagi seseorang adalah dari hasil usahanya. Dan sesungguhnya anak juga merupakan bagian dari usahanya.”(H.R. Ahmad)

Jika pihak penanggung tersebut juga tidak ada atau tidak mampu, maka tanggung jawab tersebut jatuh kepada ahli waris mereka. Dengan catatan ahli warisnya memiliki kemampuan untuk menafkahinya, yakni memliki kelebihan dari kebutuhan pokok dan sekundernya. Dengan demikian ahli waris tidak hanya diposisikan sebagai pihak yang berhak untuk mewarisi harta namun juga berkewajiban menanggung ahli warisnya yang tidak mampu. Firman Allah swt:

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan ahli warispun berkewajiban demikian.” (QS.al-Baqarah: 233)

Oleh karena itu, negara berperan untuk memastikan bahwa orang-orang yang bertanggungjawab memenuhi nafkah diri dan tanggungannya melaksanakan tugasnya. Jika mereka lalai tanpa ada alasan yang dibenarkan maka mereka akan diberi sanksi. Demikian pula, jika seseorang memiliki kewajiban memenuhi nafkah dan kewajiban membayar utang, maka tuntutan yang pertama yang harus dipenuhi adalah kewajaiban membayar nafkah.

Adapun jika masih terdapat orang-orang yang tidak dapat menanggung nafkah mereka sebagaimana yang disebutkan di atas maka kewajiban tersebut dibebankan kepada negara. Rasulullah saw bersabda:

“Siapasaja dari orang mukmin yang meninggal dunia dan meninggalkan harta maka menjad hak ahli warisnya. Dan siapa yang meninggalkan utang dan orang yang lemah maka datanglah kepadaku karena saya adalah walinya.” (H.R. Bukhari Muslim).

Riwayat tersebut secara jelas menyebutkan bahwa mereka yang tidak memiliki ahli waris maka menjadi tanggungjawab negara untuk menafkahinya. Demikian pentingnya kewajiban ini maka belanja baitul mal atas kewajiban tersebut didahulukan atas yang lain. Jika harta Baitul Mal tidak ada maka negara wajib menarik pajak kepada kaum muslim sehinggi kewajiban tersebut terpenuhi. Bahkan jika dikhawatirkan proses penarikan pajak memakan waktu sehingga menimbulkan mudharat bagi mereka maka negara diperkenankan untuk berhutang.

Sementara kebutuhan dasar yang terkait dengan masalah pendidikan, kesehatan dan keamanan maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara dan tidak lagi mewajibkan individu untuk terlibat dalam penyediaan kebutuhan tersebut.

Dalam masalah pendidikan, jelas disebutkan dalam banyak riwayat. Salah satunya adalah: “Permisalan petunjuk dan ilmu dimana Allah mengutusku dengannya ibarat hujan yang mengenai tanah. Maka ada tanah yang baik, yang bisa menyerap air sehingga menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah yang ajadib (bisa menampung air, namun tidak bisa menyerap ke dalamnya), maka dengan genangan air tersebut Allah memberi manfaat untuk banyak orang, sehingga manusia dapat mengambil air minum dari tanah ini… (HR. Bukhari dan Muslim).

Pada hadits ini petunjuk dan ilmu dipadankan dengan air hujan. Sementara air sendiri merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia, maka demikian pula halnya dengan petunjuk dan ilmu pengetahuan.  Selain itu, juga bagaimana Rasulullah pernah meminta para tawanan perang Badar untuk masing-masing mengajar 10 anak-anak Madinah sebagai tebusan pembebasan mereka.

Adapun pemenuhan kebutuhan kesehatan maka telah disebutkan bahwa Rasulullah telah memerintahkan kaum muslim untuk berobat. Selain itu, kesehatan sendiri merupakan perkara yang amat penting bagi rakyat dan dapat menyebabkan mudharat jika hal tersebut tidak dipenuhi (kewajiban ri’ayah dan konsep dharar). Oleh karena itu hal tersebut menjadi kewajiban bgi negara untuk menyediakannya.

Sementara untuk jaminan keamanan dalam dan luar negeri juga telah ditunjukkan oleh banyak nash. Untuk keamanan luar negeri, terdapat perintah jihad untuk melindungi negara dari serangan musuh disamping untuk mendukung penyebarluasan dakwah Islam. Untuk keamanan dalam negeri ditopang oleh pelaksanaan sistem sanksi yang menjamin terpenuhinya hak-hak setiap warga negara yang mencakup perlindungan badan, harta, akal, nasab dan kehormatan. Dengan demikian rasa aman yang diciptakan oleh aturan Islam tidak sebatas keamanan fisik namun juga sosial, ekonomi dan spiritual. []


[1] Otto von Bismarck, http://www.wikipedia.com

[2] International Labor Organisation (2010), World Social Security Report 2010/2011. Genewa: ILO Publisher

Tinggalkan komentar