PENCAPAIAN KESEJAHTERAAN EKONOMI DAN SOSIAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Pengantar

Landasan utama sistem ekonomi kapitalisme adalah peningkatan pedapatan perkapita melalui pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan dianggap sebagai jalan menuju kesejahateraan. Oleh karena itu, fokus utama dari sistem ekonomi negara ini adalah bagiamana menciptakan pertumbuhan ekonomi setinggi mungkin. Asumsinya, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi yang dapat diraih oleh suatu negara, semakin tinggi kesejahteraan yang dapat diciptakan.

Selain mekanisme harga, sistem tersebut  tidak memiliki metode integral yang baku dalam mendistribusikan kekayaan kepada orang-orang yang tidak mampu. Negara hanya berupaya agar pendapatan perkapita rakyat secara agregat mengalami peningkatan tanpa melihat apakah masing-masing individu rakyatnya mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.

Di sisi lain, peran dan tanggungjawab negara dalam bidang ekonomi, termasuk dalam pelayanan publik sedapat mungkin diminimalkan. Sementara partisipasi swasta dalam diberi ruang yang lebih luas. Regulasi yang mengarah pada minimalisasi peran negara serta optimalisasi peran swasta seperti privatisasi dan liberalisasi senantiasa menjadi agenda politik utama pemerintah.

Namun demikian, model perekonomian tersebut ternyata gagal menciptakan kesejahteraan secara merata. Kekayaan yang dihasilkan dari pertumbuhan tersebut hanya dinikmati oleh mereka yang dapat terlibat dalam kegiatan ekonomi terutama oleh para pemodal. Sementara mereka yang tersisih dan tidak dapat terlibat dari kegiatan ekonomi, seperti orang jompo, orang cacat, orang miskin, tetap tidak dapat menikmati kekayaan tersebut.

Para pemikir dan pengambil kebijakan di negara-negara kapitalisme bukan tidak menyadari hal tersebut. Berbagai cara ditempuh untuk menambal black hole sistem ini, termasuk diantaranya program jaminan sosial. Di Jerman misalnya, Otto Von Bismarck (1880) telah merancang sistem jaminan sosial tatkala mekanisme pasar menemui kegagalan dalam meningkatkan kesehateraan buruh. Demikian pula program New Deal (1933-1936) yang diterapkan oleh Franklin D. Roosevelt pasca great depresion di AS yang juga mencakup pemberian jaminan sosial kepada kelompok tertentu dari masyarakat khususnya para pekerja.

Di Indonesia kebijakan intervensi negara dalam bentuk subsidi dan beberapa kebijakan yang dianggap pro rakyat jumlahnya tidak sedikit. Sebut saja program penjualan beras miskin (raskin), Jamkesmas, dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Belakangan, negara berencana memberlakukan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Sayangnya jaminan sosial yang dimaksud hanya mencakup pelayanan kesehatan, kecelakaan kerja, pensiun, hari tua dan kematian. Itupun dengan membebankan kepada para pekerja untuk membayar premi setiap bulannya.

Namun demikian, berbagai kebijakan tersebut tetap gagal dalam menjamin mewujudkan kesejahteraan rakyat. Tingginya angka kemiskinan, pengangguran, disparitas pendapatan yang tinggi, malnutrisi, akses kesehatan dan pendidikan serta jaminan keamanan yang rendah tetap menjadi persoalan utama yang tak dapat dipecahkan dengan tuntas oleh sistem ini.

 

Politik Ekonomi Islam

Berbeda dengan sistem Kapitalisme yang menjadikan pertumbuhan untuk meningkatkan pendapatan perkapita sebagai landasan kebijakannya, sistem ekonomi Islam bertumpu pada asas distribusi. Oleh karena itu, politik ekonomi dalam Islam secara tegas dinyatakan adalah menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok setiap warga negara secara menyeluruh dan memberikan peluang kepada mereka untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kemampuan mereka dalam bingkai masyarakat yang memiliki satu pandangan hidup tertentu.

‘Jaminan Sosial’

Adapun dari sisi pemenuhan kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi perindividu maka Islam telah memberikan batasan yaitu: pangan, sandang dan papan yang wajib dipenuhi oleh individu dan negara dan pendidikan, kesehatan serta jaminan keamanan yang menjadi tanggungjawab negara.

Mekanisme pemenuhan kebutuhan dasar berupa pangan, sandang dan papan melalui keterlibatan: individu, keluarga (ahli waris) dan intervensi negara. Dari sisi individu maka Islam telah memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk bekerja dan memiliki barang-barang sesuai dengan kaedah yang telah digariskan. Namun bagi seorang laki-laki yang mampu bekerja dan kebutuhan dasarnya tidak mencukupi maka ia wajib bekerja. Sementara bagi mereka yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya karena tidak dapat bekerja atau tidak wajib bekerja seperti wanita, anak-anak dan orang tua maka Islam telah menentukan pihak yang wajib menanggung nafkah mereka. Suami wajib menanggung wajib menanggung nafkah istri dan anak-anaknya. Sementara orang tua wajib ditanggung nafkahnya oleh anak laku-laki mereka yang baligh dan mampu bekerja. Dari Aisyah Rasulullah saw bersabda: ”Makanan yang paling baik bagi seseorang adalah dari hasil usahanya. Dan sesungguhnya anak juga merupakan bagian dari usahanya.”(H.R. Ahmad)

Jika pihak penanggung tersebut juga tidak ada atau tidak mampu, maka tanggung jawab tersebut jatuh kepada ahli waris mereka. Dengan catatan ahli warisnya memiliki kemampuan untuk menafkahinya, yakni memliki kelebihan dari kebutuhan pokok dan sekundernya. Dengan demikian ahli waris tidak hanya diposisikan sebagai pihak yang berhak untuk mewarisi harta namun juga berkewajiban menanggung mereka yang menjadi ahli warisnya. Firman Allah swt:

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan ahli warispun berkewajiban demikian.” (QS.al-Baqarah: 233)

Oleh karena itu, negara berperan untuk memastikan bahwa orang-orang yang bertanggungjawab memenuhi nafakah diri dan tanggungannya melaksanakan tugasnya. Jika mereka lalai tanpa ada alasan yang dibenarkan maka mereka akan diberi sanksi. Demikian pula, jika seseorang memiliki kewajiban memenuhi nafkah dan kewajiban membayar utang, maka tuntutan yang pertama yang harus dipenuhi adalah kewajaiban membayar nafkah.

Adapun jika masih terdapat orang-orang yang tidak dapat menanggung nafkah mereka sebagaimana yang disebutkan di atas maka kewajiban tersebut dibebankan kepada negara. Rasulullah saw bersabda: “Siapasaja dari orang mukmin yang meninggal dunia dan meninggalkan harta maka menjad hak ahli warisnya. Dan siapa yang meninggalkan utang dan orang yang lemah maka datanglah kepadaku karena saya adalah walinya.” (H.R. Bukhari Muslim).

Riwayat tersebut secara jelas menyebutkan bahwa mereka yang tidak memiliki ahli waris maka menjadi tanggungjawab negara untuk menafkahinya. Demikian pentingnya kewajiban ini maka belanja baitul mal atas kewajiban tersebut didahulukan atas yang lain. Jika harta Baitul Mal tidak ada maka negara wajib menarik pajak kepada kaum muslim sehinggi kewajiban tersebut terpenuhi. Bahkan jika dikhawatirkan proses penarikan pajak memakan waktu sehingga menimbulkan mudharat bagi mereka maka negara diperkenankan untuk berhutang.

Sementara kebutuhan dasar yang terkait dengan masalah pendidikan, kesehatan dan keamanan maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara dan tidak lagi mewajibkan individu untuk terlibat dalam penyediaan kebutuhan tersebut.

Dalam masalah pendidikan, jelas disebutkan dalam banyak riwayat. Salah satunya adalah: “Permisalan petunjuk dan ilmu dimana Allah mengutusku dengannya ibarat hujan yang mengenai tanah. Maka ada tanah yang baik, yang bisa menyerap air sehingga menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah yang ajadib (bisa menampung air, namun tidak bisa menyerap ke dalamnya), maka dengan genangan air tersebut Allah memberi manfaat untuk banyak orang, sehingga manusia dapat mengambil air minum dari tanah ini… (HR. Bukhari dan Muslim).

Pada hadits ini petunjuk dan ilmu dipadankan dengan air hujan. Sementara air sendiri merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia, maka demikian pula halnya dengan petunjuk dan ilmu pengetahuan.  Selain itu, juga bagaimana Rasulullah pernah meminta para tawanan perang Badar untuk masing-masing mengajar 10 anak-anak Madinah sebagai tebusan pembebasan mereka.

Adapun pemenuhan kebutuhan kesehatan maka telah disebutkan bahwa Rasulullah telah memerintahkan kaum muslim untuk berobat. Selain itu, kesehatan sendiri merupakan perkara yang amat penting bagi rakyat dan dapat menyebabkan mudharat jika hal tersebut tidak dipenuhi. Oleh karena itu hal tersebut menjadi kewajiban bgi negara untuk menyediakannya.

Sementara untuk jaminan keamanan dalam dan luar negeri juga telah ditunjukkan oleh banyak nash. Untuk keamanan luar negeri, terdapat perintah jihad untuk melindungi negara dari serangan musuh disamping untuk mendukung penyebarluasan dakwah Islam. Untuk keamanan dalam negeri ditopang oleh pelaksanaan sistem sanksi yang menjamin terpenuhinya hak-hak setiap warga negara yang mencakup perlindungan badan, harta, akal, nasab dan kehormatan. Dengan demikian rasa aman yang diciptakan oleh aturan Islam tidak sebatas keamanan fisik namun juga sosial, ekonomi dan spiritual.

Pertumbuhan Ekonomi

Islam juga mencakup hukum-hukum yang mengatur pengelolaan ekonomi secara sehat namun mampu memacu pertumbuhan ekonomi secara pesat. Beberapa hal tersebut antara lain pengaturan ekonomi dalam bidang pertanian, industri dan perdagangan.

a.      Pertanian

Dalam masalah pertanian, politik pertanian diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri melalui peningkatan produksi secara berkesinambungan dengan memperhatikan hukum-hukum yang terkait dengan masalah pertanian. Para petani yang tidak mampu diberi subsidi input pertanian sehingga mereka mampu berproduksi. Rakyat juga didorong untuk menghidupkan tanah mati dan memanfaatkan tanah pertanian mereka. Tanah pertanian yang menganggur lebih dari tiga tahun disita negara dan diberikan kepada mereka yang membutuhkan dan mampu mengelolanya. Dengan demikian produktivitas tanah pertanian akan sangat tinggi.

 Meski demikian, kebijakan tersebut bukan hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang terus meningkat dan mengantisipasi bencana, namun juga untuk menjaga kemungkinan boikot negara-negara lain serta potensi kelaparan dari negeri-negari muslim lainnya. Selain itu, politik pertanian didorong untuk mendukung terlaksananya revolusi industri. Oleh karena itu, peningkatan produksi pangan untuk tujuan ekspor digalakkan hingga revolusi tersebut terwujud. Cadangan devisa tersebut selanjutnya dipergunakan untuk membeli barang-barang modal untuk membangun dan memperkuat basis industri dalam negeri.

b.      Industri

Adapun untuk industri maka persoalan pertama yang harus dipecahkan adalah masalah kepemilikan. Berbeda dengan Kapitalisme yang meminimalkan peran negara dalam industri atau komunisme yang menguasai seluruh industri, Islam memandang industri berdasarkan barang yang diproduksi. Jika barang yang diproduksi tersebut bukan merupakan barang publik maka industri tersebut diserahkan kepada swasta. Yang masuk kategori milik publik adalah: barang tambang yang depositnya melimpah seperti migas, barang yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti air, dan barang yang secara alamiah tidak dapat dikuasai oleh individu seperti jalan, sungai dan laut.

Meski demikian, negara boleh mengembangkan industri yang bukan milik publik namun dianggap penting untuk kemajuan negara termasuk industri yang berskala besar dan membutuhkan investasi besar seperti industri mobil, pesawat terbang dan perkapalan. Sementara industri yang memproduksi barang-barang milik publik seperti migas, minerba, pembangkit listrik, maka sepenuhnya dikelola oleh negara dan tidak diserahkan kepada swasta.  Output dan keuntungan dari dari industri tersebut selanjutnya didistribusikan kepada publik. Gas, air dan listrik misalnya dapat digratiskan atau dijual berdasarkan harga pokoknya. Kalaupun dijual dengan harga pasar maka dua hal yang harus dipastikan: harga tersebut tidak membebani rakyat dan seluruh keuntungan dikembalikan kepada mereka. Dengan demikian, biaya hidup –termasuk kegiatan usaha–akan lebih ringan sebab barang-barang publik tidak dikomersilkan sebagaimana dalam sistem kapitalisme.

c. Perdagangan

Perdagagan juga dipandang sebagai salah satu motor pertumbuhan ekonomi. Untuk perdagangan dalam negeri negara tidak banyak melakukan intervensi. Tugas utama negara adalah menjamin terlaksanya hukum syara’ terkait dengan jual beli oleh para pedagang. Aksi penipuan, pemalsuan dan penimbunan misalnya akan ditindak tegas melalui qadhi hisbah yang secara aktif melakukan inspeksi dan pengawasan di pusat-pusat perdagangan. Demikian pula bentuk-bentuk perdagangan yang melibatkan transaksi-transaki ribawi, perjudian, spekulasi dan aqad-aqad yang batil juga akan diberantas. Dengan demikian, kegoncangan di sektor pasar modal dan pasar komoditas berjangka yang berimbas pada sektor riil, tidak akan ditemui dalam sistem ekonomi Islam.

Meski tidak melakukan pematokan harga. Kenaikan harga tidak dihilangkan dengan mematok harga namun pada lebih pada penyebab kenaikan tersebut. Ketika harga harga-harga komoditas pokok mahal misalnya maka dilihat apakah ada distorsi pasar seperti penimbunan, atau murni faktor supply and demand. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah mengimpor gandum dalam jumlah besar untuk menurunkan harga gandum di Madinah yang melonjak tajam.

Adapun untuk perdagangan luar negari maka prinsip perdagangan dalam Islam mengacu pada orang yan melakukan perdagangan dan bukan mengacu pada barang. Dengan demikian, maka setiap warga negara berhak melakukan kegiatan perdangangan dengan siapapun kecuali dengan negara-negara yang terlibat konflik dengan negara Islam. Selain itu, negara juga membatasi barang-barang yang dapat memberikan mudharat bagi negara jika diekspor ke luar negeri atau justru memperkuat eksistensi negara musuh ketika barang tersebut diimpor darinya. Adapun pemberlakuan bea masuk dan bea keluar bagi pedagang dari negara Islam tidak dikenakan tarif. Sementara bagi para pedagang asing maka berlaku hukum resiprokal dimana pemberlakuannya disesuaikan dengan pengenaan bea masuk mereka atas pedagang dari negara Islam. Meski demikian, dalam kondisi tertentu untuk kemaslahatan rakyat penarikan tersebut dapat diabaikan berdasarkan hasil Ijtihad khalifah. Dari Abdullah bin Umar ia berkata: Umar mengenakan setengah ‘usyur untuk minyak zaitun dan gandum agar barang tersebut lebih banyak dibawa ke Madinah. Sementara untuk quthniyyah(biji-bijian seperti kacang) beliau mengambil sepersepuluh.” 

Tinggalkan komentar